muhammad firman nur
44110702
3DC02
ALIH TEKNOLOGI
Perkara
alih teknologi sama sekali bukan hal yang sederhana. Dalam Prisma no. 4, April
1987, Todung Mulya Lubis menyatakan beberapa dilema alih teknologi yang
dihadapi oleh Negara Dunia Ketiga, antara lain:
Dilema
pertama, teknologi itu bukan sesuatu yang murah. Dilema terletak pada sejauh
mana Negara Dunia Ketiga bersedia membayar harga teknologi yang cukup mahal
itu. Sejauh mana Negara Dunia Ketiga memprioritaskannya di tengah kebutuhan
lain yang mendesak dipenuhi. Parahnya, penentuan harga jual hampir mutlak
terletak pada tangan pemilik teknologi. Pembeli hanya diberi pilihan membeli
atau tidak sama sekali. Teknologi seringkali dijual secara paket, di mana paket
tersebut dengan segala perekatnya (tie-in) secara sepihak sering sengaja
dimahalkan. Untuk industri tinggi, pembelian teknologi secara terpisah (partial)
hampir mustahil.
Dilema
kedua adalah pada satu pihak Negara Dunia Ketiga ingin memelihara dan
mempertahankan kemerdekaan, tetapi di pihak lain, dengan alih teknologi ini
bukan mustahil negara akan melepaskan sebagian kemerdekaan tersebut. Sangat
besar kemungkinan, teknologi yang dimasukkan tersebut menimbulkan
ketergantungan teknologi (technological dependency). Hal ini tidak sehat
bagi perekonomian Negara Dunia Ketiga. Negara Dunia Ketiga sekadar menjadi
sandera dari pemasaran teknologi asing. Negara-negara maju dan perusahaan
multinasional akan menjadikan kekayaan negara berkembang sebagai sasaran
pemasaran teknologinya.
Dilema
ketiga adalah apabila ketergantungan teknologi ini sudah semakin tinggi, maka
kreativitas masyarakat dan anak sekolah akan merosot. Kemalasan untuk bersusah
payah pun muncul.
Akibat
yang paling jelek adalah berkurangnya lapangan pekerjaan sehingga terjadi
pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatkan angka pengangguran dan
kemiskinan. Inilah wajah tidak manusiawi dari alih teknologi.
Selain
dilema-dilema yang dihadapi sebagaimana yang tercantum di atas, dalam alih
teknologi itu sendiri sebenarnya mengandung pertentangan nilai yang tak
terelakkan, seperti yang ditunjukkan oleh Denis Goulet (1977) berikut:
Teknologi
dianggap sebagai pedang bermata dua, sebagai pengembang sekaligus penghancur
nilai-nilai. Dalam hal ini, alih teknologi dari Barat tentu saja membawa serta
nilai-nilai dan pandangan hidup barat.
- Nilai pertama adalah
rasionalitas. Dalam sudut pandang teknologi Barat, yang dimaksud rasional
adalah melihat segala permasalahan dapat dipecah-pecah menjadi
bagian-bagian, disusun kembali, dimanipulasi melalui cara-cara praktis,
dan diukur dampak-dampaknya. Padahal, nilai-nilai tradisional Negara Dunia
Ketiga banyak memasukkan aspek-aspek yang tidak mungkin dijawab melalui
rasionalitas Barat semacam itu, dan nilai-nilai tradisional tersebut telah
melekat dalam kehidupan masyarakat Negara Dunia Ketiga dan dipegang
sebagai sebuah kepercayaan.
- Nilai kedua adalah efisiensi.
Efisiensi memiliki keterkaitan erat dengan konsep dari industri yaitu
produktivitas. Naik turunnya efisiensi dapat diukur melalui tingkat
produktivitas. Produktivitas menilai segala sesuatu dari hasil atau output,
dibandingkan dengan input yang diperlukan untuk menghasilkannya.
Produktivitas dihitung dari seberapa banyak produk bila dibandingkan
dengan investasi yang dikeluarkan untuk tenaga kerja, modal, mesin, dan
waktu.
- Nilai ketiga adalah mengutamakan
pemecahan masalah secara teknis tanpa memperhatikan aspek alam atau
manusiawi. Inginnya segala sesuatu dapat diselesaikan, sehingga tidak
memberi waktu terhadap kontemplasi dan harmonisasi dengan alam. Juga
mengembangkan perilaku acuh, pasif, dan penolakan terhadap masalah-masalah
yang dihadapi.
- Nilai keempat adalah menganggap
kekuatan alam sebagai objek yang harus dipergunakan untuk sebesar-besar
kepentingan manusia. Padahal sebagian besar nilai-nilai tradisional sangat
mengutamakan hubungan yang harmonis dengan alam untuk menghindari dampak
buruk yang dapat ditimbulkan.
Demikianlah
terjadi berbagai pertentangan nilai dalam alih teknologi, tetapi tetap saja
Negara Dunia Ketiga menutup mata dan bersikukuh untuk melakukan alih teknologi.
Jenis-jenis
Alih Teknologi
Alih
teknologi sering secara sembrono diartikan sebagai proses untuk menjadikan
Negara Dunia Berkembang ikut menguasai teknologi sebagaimana yang terjadi pada
negara maju. Tetapi, sesungguhnya bagaimanakah cara teknologi tersebut
dialihkan?
Yang
dimaksud dengan alih teknologi sebenarnya tak lain dan tak bukan adalah
transaksi ekonomi untuk kepentingan dagang.
Ini
terlihat dari jenis-jenis dan cara-cara alih teknologi. Korporasi transnasional
menjadi aktor kunci dalam proses ini. Anthony I. Akubue “Technology
Transfer: A Third World Perspective” menjelaskan jenis-jenis alih
teknologi. Yang sering terjadi antara lain:
Foreign Direct Investment,
yaitu investasi jangka panjang yang ditanamkan oleh perusahaan asing. Investor
memegang kendali atas pengelolaan aset dan produksi. Untuk menarik minat
investor asing, Negara Dunia Ketiga menjalankan berbagai kebijakan seperti
liberalisasi, privatisasi, menjaga stabilitas politik, dan meminimalkan campur
tangan pemerintah. Padahal, kepemilikan asing atas modal sama saja dengan
membentangkan jalan lebar menuju keuntungan dan pelayanan bagi korporasi
transnasional. Mereka mengeksploitasi banyak keuntungan dengan resiko yang
ditanggung oleh Negara Dunia Ketiga. Bayangan mengenai terjadinya alih
teknologi dan pengembangan teknologi pribumi dirasakan sebagai impian yang
terlalu muluk.
Joint Ventures,
yaitu kerjasama (partnership) antara perusahaan yang berasal dari negara
yang berbeda dengan tujuan mendapat keuntungan. Dalam model seperti ini,
kepemilikan diperhitungkan berdasarkan saham yang dimiliki. Jenis alih
teknologi ini menjadi menarik sebab perusahaan-perusahaan asing dapat
menghindari terjadinya nasionalisasi atas perusahaan. Perlu diketahui bahwa
dalam model FDI (Foreign Direct Investment) resiko terjadinya
nasionalisasi secara tiba-tiba adalah cukup tinggi. Selain itu investor asing
juga merasa riskan bila harus melakukan joint ventures dengan perusahaan
nasional Negara Dunia Ketiga.
Licensing Agreements,
yaitu izin dari sebuah perusahaan kepada perusahaan-perusahaan lain untuk
menggunakan nama dagangnya (brand name), merek, teknologi, paten, hak
cipta, atau keahlian-keahlian lainnya. Pemegang lisensi harus beroperasi di
bawah kondisi dan ketentuan tertentu, termasuk dalam hal pembayaran upah dan
royalti. Biasanya cara ini digunakan oleh perusahaan asing dengan mitra Negara
Dunia Ketiga. Cara ini adalah yang paling memungkinkan terjadinya alih
pembayaran atau larinya modal dari Negara Dunia Ketiga kepada
perusahaan-perusahaan asing.
Turnkey Projects,
yaitu membangun infrastruktur dan konstruksi yang diperlukan perusahaan asing
untuk menyelenggarakan proses produksi di Negara Dunia Ketiga. Bila segala
fasilitas telah siap dioperasikan, perusahaan asing menyerahkan ‘kunci’ kepada
perusahaan domestik atau organisasi lainnya. Perusahaan asing juga
menyelenggarakan pelatihan pekerja dalam negeri agar suatu saat dapat mengambil
alih segenap proses produksi yang dibutuhkan. Kecil kemungkinan terjadi alih
teknologi sebab perusahaan domestik hanya bisa mengoperasikan tanpa mengerti
kepentingan pengembangan teknologi tersebut. Perusahaan domestik juga tidak
bisa membangunnya, sehingga peran mereka sekadar menjadi budak suruhan.
Mengingat
watak dasar perusahaan (termasuk korporasi transnasional) yang mengutamakan
pencarian laba sebagai motif kepentingannya, cita-cita pembebasan kemanusiaan
melalui teknologi menjadi kepentingan nomor sekian.
Adakah
Alih Teknologi?
Kenyataan semacam itu tentu membuyarkan mimpi Negara Dunia
Ketiga mengenai proses yang disebut sebagai ‘alih teknologi’. Dalam tulisan
yang sama di Prisma, Todung Mulya Lubis merasa perlu mempertanyakan ulang,
benarkah alih teknologi sedang terjadi? Jika jawabannya adalah tidak, maka
apakah yang sesungguhnya sedang terjadi? Argumen yang mendasari pertanyaan tersebut
antara lain adalah:
- Pertama, belum adanya UU Paten
yang mengatur apakah teknologi yang masuk setelah jangka waktu tertentu
akan menjadi milik umum (public domain).
- Kedua, berbagai kontrak yang
dibuat PT PMA atau PT PMDN dengan perusahaan-perusahaan asing mengenai
teknologi tersebut tidak menjamin terjadinya alih teknologi. Pengetahuan
mengenai berbagai kontrak itu sangat miskin, tidak tahu apa saja isi
kontrak-kontrak tersebut karena tidak ada kewajiban untuk mengumumkan isi
kontrak itu kepada pemerintah, apalagi kepada umum.
- Ketiga, kalaupun ada UU Paten
dan kontrak-kontrak alih teknologi, hanya dijadikan sarana untuk masuk ke
pasaran domestik. Pengusaha asing dengan berbagai upayanya mempertahankan
patennya melalui berbagai modifikasi sehingga paten tersebut tidak jatuh
menjadi public domain. Ada keengganan besar pada pemilik paten
asing ini untuk mengalihkan teknologinya.
- Keempat, mekanisme kontrol
terhadap alih teknologi relatif lemah. Dan,
- Kelima, mitra bisnis yang
sepadan di dalam negeri belum cukup tersedia.
Lalu,
bila alih teknologi disangsikan telah terjadi, maka proses apakah sebenarnya
yang tengah berlangsung dan digembar-gemborkan selama ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar