Kamis, 25 April 2013

TUGAS 2 HUKUM PERBURUHAN


muhammad firman nur
44110702
3DC02

ALIH TEKNOLOGI
Perkara alih teknologi sama sekali bukan hal yang sederhana. Dalam Prisma no. 4, April 1987, Todung Mulya Lubis menyatakan beberapa dilema alih teknologi yang dihadapi oleh Negara Dunia Ketiga, antara lain:
Dilema pertama, teknologi itu bukan sesuatu yang murah. Dilema terletak pada sejauh mana Negara Dunia Ketiga bersedia membayar harga teknologi yang cukup mahal itu. Sejauh mana Negara Dunia Ketiga memprioritaskannya di tengah kebutuhan lain yang mendesak dipenuhi. Parahnya, penentuan harga jual hampir mutlak terletak pada tangan pemilik teknologi. Pembeli hanya diberi pilihan membeli atau tidak sama sekali. Teknologi seringkali dijual secara paket, di mana paket tersebut dengan segala perekatnya (tie-in) secara sepihak sering sengaja dimahalkan. Untuk industri tinggi, pembelian teknologi secara terpisah (partial) hampir mustahil.
Dilema kedua adalah pada satu pihak Negara Dunia Ketiga ingin memelihara dan mempertahankan kemerdekaan, tetapi di pihak lain, dengan alih teknologi ini bukan mustahil negara akan melepaskan sebagian kemerdekaan tersebut. Sangat besar kemungkinan, teknologi yang dimasukkan tersebut menimbulkan ketergantungan teknologi (technological dependency). Hal ini tidak sehat bagi perekonomian Negara Dunia Ketiga. Negara Dunia Ketiga sekadar menjadi sandera dari pemasaran teknologi asing. Negara-negara maju dan perusahaan multinasional akan menjadikan kekayaan negara berkembang sebagai sasaran pemasaran teknologinya.
Dilema ketiga adalah apabila ketergantungan teknologi ini sudah semakin tinggi, maka kreativitas masyarakat dan anak sekolah akan merosot. Kemalasan untuk bersusah payah pun muncul.
Akibat yang paling jelek adalah berkurangnya lapangan pekerjaan sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Inilah wajah tidak manusiawi dari alih teknologi.
Selain dilema-dilema yang dihadapi sebagaimana yang tercantum di atas, dalam alih teknologi itu sendiri sebenarnya mengandung pertentangan nilai yang tak terelakkan, seperti yang ditunjukkan oleh Denis Goulet (1977) berikut:
Teknologi dianggap sebagai pedang bermata dua, sebagai pengembang sekaligus penghancur nilai-nilai. Dalam hal ini, alih teknologi dari Barat tentu saja membawa serta nilai-nilai dan pandangan hidup barat.
  • Nilai pertama adalah rasionalitas. Dalam sudut pandang teknologi Barat, yang dimaksud rasional adalah melihat segala permasalahan dapat dipecah-pecah menjadi bagian-bagian, disusun kembali, dimanipulasi melalui cara-cara praktis, dan diukur dampak-dampaknya. Padahal, nilai-nilai tradisional Negara Dunia Ketiga banyak memasukkan aspek-aspek yang tidak mungkin dijawab melalui rasionalitas Barat semacam itu, dan nilai-nilai tradisional tersebut telah melekat dalam kehidupan masyarakat Negara Dunia Ketiga dan dipegang sebagai sebuah kepercayaan.
  • Nilai kedua adalah efisiensi. Efisiensi memiliki keterkaitan erat dengan konsep dari industri yaitu produktivitas. Naik turunnya efisiensi dapat diukur melalui tingkat produktivitas. Produktivitas menilai segala sesuatu dari hasil atau output, dibandingkan dengan input yang diperlukan untuk menghasilkannya. Produktivitas dihitung dari seberapa banyak produk bila dibandingkan dengan investasi yang dikeluarkan untuk tenaga kerja, modal, mesin, dan waktu.
  • Nilai ketiga adalah mengutamakan pemecahan masalah secara teknis tanpa memperhatikan aspek alam atau manusiawi. Inginnya segala sesuatu dapat diselesaikan, sehingga tidak memberi waktu terhadap kontemplasi dan harmonisasi dengan alam. Juga mengembangkan perilaku acuh, pasif, dan penolakan terhadap masalah-masalah yang dihadapi.
  • Nilai keempat adalah menganggap kekuatan alam sebagai objek yang harus dipergunakan untuk sebesar-besar kepentingan manusia. Padahal sebagian besar nilai-nilai tradisional sangat mengutamakan hubungan yang harmonis dengan alam untuk menghindari dampak buruk yang dapat ditimbulkan.
Demikianlah terjadi berbagai pertentangan nilai dalam alih teknologi, tetapi tetap saja Negara Dunia Ketiga menutup mata dan bersikukuh untuk melakukan alih teknologi.
Jenis-jenis Alih Teknologi
Alih teknologi sering secara sembrono diartikan sebagai proses untuk menjadikan Negara Dunia Berkembang ikut menguasai teknologi sebagaimana yang terjadi pada negara maju. Tetapi, sesungguhnya bagaimanakah cara teknologi tersebut dialihkan?
Yang dimaksud dengan alih teknologi sebenarnya tak lain dan tak bukan adalah transaksi ekonomi untuk kepentingan dagang.
Ini terlihat dari jenis-jenis dan cara-cara alih teknologi. Korporasi transnasional menjadi aktor kunci dalam proses ini. Anthony I. Akubue “Technology Transfer: A Third World Perspective” menjelaskan jenis-jenis alih teknologi. Yang sering terjadi antara lain:
Foreign Direct Investment, yaitu investasi jangka panjang yang ditanamkan oleh perusahaan asing. Investor memegang kendali atas pengelolaan aset dan produksi. Untuk menarik minat investor asing, Negara Dunia Ketiga menjalankan berbagai kebijakan seperti liberalisasi, privatisasi, menjaga stabilitas politik, dan meminimalkan campur tangan pemerintah. Padahal, kepemilikan asing atas modal sama saja dengan membentangkan jalan lebar menuju keuntungan dan pelayanan bagi korporasi transnasional. Mereka mengeksploitasi banyak keuntungan dengan resiko yang ditanggung oleh Negara Dunia Ketiga. Bayangan mengenai terjadinya alih teknologi dan pengembangan teknologi pribumi dirasakan sebagai impian yang terlalu muluk.
Joint Ventures, yaitu kerjasama (partnership) antara perusahaan yang berasal dari negara yang berbeda dengan tujuan mendapat keuntungan. Dalam model seperti ini, kepemilikan diperhitungkan berdasarkan saham yang dimiliki. Jenis alih teknologi ini menjadi menarik sebab perusahaan-perusahaan asing dapat menghindari terjadinya nasionalisasi atas perusahaan. Perlu diketahui bahwa dalam model FDI (Foreign Direct Investment) resiko terjadinya nasionalisasi secara tiba-tiba adalah cukup tinggi. Selain itu investor asing juga merasa riskan bila harus melakukan joint ventures dengan perusahaan nasional Negara Dunia Ketiga.
Licensing Agreements, yaitu izin dari sebuah perusahaan kepada perusahaan-perusahaan lain untuk menggunakan nama dagangnya (brand name), merek, teknologi, paten, hak cipta, atau keahlian-keahlian lainnya. Pemegang lisensi harus beroperasi di bawah kondisi dan ketentuan tertentu, termasuk dalam hal pembayaran upah dan royalti. Biasanya cara ini digunakan oleh perusahaan asing dengan mitra Negara Dunia Ketiga. Cara ini adalah yang paling memungkinkan terjadinya alih pembayaran atau larinya modal dari Negara Dunia Ketiga kepada perusahaan-perusahaan asing.
Turnkey Projects, yaitu membangun infrastruktur dan konstruksi yang diperlukan perusahaan asing untuk menyelenggarakan proses produksi di Negara Dunia Ketiga. Bila segala fasilitas telah siap dioperasikan, perusahaan asing menyerahkan ‘kunci’ kepada perusahaan domestik atau organisasi lainnya. Perusahaan asing juga menyelenggarakan pelatihan pekerja dalam negeri agar suatu saat dapat mengambil alih segenap proses produksi yang dibutuhkan. Kecil kemungkinan terjadi alih teknologi sebab perusahaan domestik hanya bisa mengoperasikan tanpa mengerti kepentingan pengembangan teknologi tersebut. Perusahaan domestik juga tidak bisa membangunnya, sehingga peran mereka sekadar menjadi budak suruhan.
Mengingat watak dasar perusahaan (termasuk korporasi transnasional) yang mengutamakan pencarian laba sebagai motif kepentingannya, cita-cita pembebasan kemanusiaan melalui teknologi menjadi kepentingan nomor sekian.
Adakah Alih Teknologi?
Kenyataan semacam itu tentu membuyarkan mimpi Negara Dunia Ketiga mengenai proses yang disebut sebagai ‘alih teknologi’. Dalam tulisan yang sama di Prisma, Todung Mulya Lubis merasa perlu mempertanyakan ulang, benarkah alih teknologi sedang terjadi? Jika jawabannya adalah tidak, maka apakah yang sesungguhnya sedang terjadi? Argumen yang mendasari pertanyaan tersebut antara lain adalah:
  • Pertama, belum adanya UU Paten yang mengatur apakah teknologi yang masuk setelah jangka waktu tertentu akan menjadi milik umum (public domain).
  • Kedua, berbagai kontrak yang dibuat PT PMA atau PT PMDN dengan perusahaan-perusahaan asing mengenai teknologi tersebut tidak menjamin terjadinya alih teknologi. Pengetahuan mengenai berbagai kontrak itu sangat miskin, tidak tahu apa saja isi kontrak-kontrak tersebut karena tidak ada kewajiban untuk mengumumkan isi kontrak itu kepada pemerintah, apalagi kepada umum.
  • Ketiga, kalaupun ada UU Paten dan kontrak-kontrak alih teknologi, hanya dijadikan sarana untuk masuk ke pasaran domestik. Pengusaha asing dengan berbagai upayanya mempertahankan patennya melalui berbagai modifikasi sehingga paten tersebut tidak jatuh menjadi public domain. Ada keengganan besar pada pemilik paten asing ini untuk mengalihkan teknologinya.
  • Keempat, mekanisme kontrol terhadap alih teknologi relatif lemah. Dan,
  • Kelima, mitra bisnis yang sepadan di dalam negeri belum cukup tersedia.
Lalu, bila alih teknologi disangsikan telah terjadi, maka proses apakah sebenarnya yang tengah berlangsung dan digembar-gemborkan selama ini?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar